Ustadz Budi Ashari Lc.
Kalimat yang diinspirasikan dari jawaban Imam Ahmad terhadap pertanyaan anaknya itu, benar-benar membuat ayah dengan tiga anak ini tak kenal lelah dalam mengejar idealisme ilmu.
Akan tetapi, setelah menamatkan diri di Fakultas Hadis dan Dirosah Islamiyah Universitas Islam Madinah, kegundahan lantas menghampirinya.
Bagaimana mungkin banyak keluarga muslim porak-poranda mengidentifikasi konsep keilmuan Barat dalam mengarungi bahtera rumah tangga padahal Islam memiliki konsep yang bisa memutus mata rantai kesalahan itu.
Melihat fenomena ini, ia bersama kawan-kawannya membidani lahirnya sebuah Lembaga Kajian Peradaban Islam yang diberi nama Cahaya Siroh.
Siang, sore, bahkan hingga malam, mantan pimred Majalah Ghoib ini setia berbagi dari satu pengajian ke pengajian lainnya untuk memperkenalkan bagaimana Nabi memiliki konsep orisinil tentang parenting.
Lantas bagaimanakah konsep parenting nabawiyah yang beliau telurkan?
Apa yang harus dilakukan keluarga muslim di tengah era badai fitnah akhir zaman seperti ini?
Kontributor CGS, Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi mencoba mewawancarainya, sesaat setelah acara Grand Launching Buku Parenting Nabawiyah di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Berikut adalah petikannya.
Banyak konsep parenting sekarang beredar, termasuk konsep parenting “Islami”.
Lantas apa yang keliru?
Sebenarnya kekeliruan ini tidak hanya terjadi pada konsep parenting, tapi juga di semua bidang seperti pendidikan dan teknologi.
Dan ini memang sebuah konsekuensi ketika Islam tidak hadir di semua bidang.
Ilmu selain Islam akan selalu berkutat dalam tiga hal: pertama, dia bisa benar. Kedua, dia benar tapi tidak sempurna, dan ketiga salah total. Dan itu terjadi di konsep parenting.
Dia (konsep parenting barat, red.) mungkin benar, dicarikan ayat dan hadisnya juga ketemu. Tapi menurut saya yang betul-betul benar tidak banyak.
Banyak konsep parenting yang sekarang beredar ada di poin dua dan tiga itu tadi.
Hal itu juga ditunjang dalam penelitian.
Berarti 2/3 dari konsep parenting yang sekarang beredar bermasalah. Kalau begini, bagaimana kita bisa mendapatkan hasil yang terbaik?
Pokoknya, ketika ada ayat Al Qur’an dan Hadis ditabrak pasti hasilnya akan salah.
Apa yang membedakan konsep Parenting Nabawiyah dengan yang lainnya?
Sebenarnya ada proses yang dinamakan Islamisasi ilmu.
Saat Andalusia sedang berjaya di Eropa, banyak keilmuan Islam diambil dari Eropa dan menjadi literatur Ilmu disana.
Bahkan kita ketahui Andalusia kala itu menjadi pusat keilmuan paling bergengsi di dunia sampai-sampai orang Eropa mengenakan pakaian yang menyerupai orang Arab.
Nah, setelah menuntut ilmu di Andalusia, banyak orang Eropa membawa pulang ilmunya. Namun mereka banyak melakukan kecurangan.
Sebuah karya ilmiah dari Andalusia kemudian dihapus namanya dan yang paling buruk adalah banyak karya dari Andalusia kemudian ditulis dengan no name (tanpa nama).
Itu buruk sekali, padahal itu semua keilmuan dari Islam. Hal itu terus berjalan seiring mereka melakukan plagiatisasi dari ilmu-ilmu Islam. Dan ketika Andalusia terkubur, mereka naik.
Syekh Muhammad Quthb pernah berkata, kalau secara nilai tidak ada satupun yang bisa kita ambil dari Barat. Tapi Barat lebih maju hari ini dalam hal-hal yang sifatnya mendetail.
Dalam psikologi misalnya, mereka mencoba mengangkakan jiwa seseorang, maka timbullah konsep IQ dimana kecerdasan bisa diangka-kan. Dari sisi itu kita akui mereka dahsyat.
Namun mereka lepas dari dasar-dasar nash.
Oleh karena itu, parenting nabawiyah ingin membalik itu semua.
Kita tidak memulai sebuah konsep dari penelitian, tapi jsutru berawal dari Al Qur’an dan Hadis.
Suatu saat kita akan membuat penelitian, jika hasil penelitian itu pas dan tidak bertentangan dengan Nash maka kita masukkan. Jika tidak, maka kita tinggalkan.
Berarti Parenting Barat bermula dari Empirisisme?
Kalau kita bicara empirisme, sayangnya banyak orang bilang konsep dari Islam itu tidak empiris.
Bagaimana tidak empiris?
Wong Islam sudah seribu tahun mempraktekan keilmuannya.
Rasulullah SAW sendiri bagaimana mendidik anak-anaknya?
Ya, jika Allah mengizinkan itulah yang akan kita bahas secara berkelanjutan dan berkala.
Tentang bagaimana Nabi mendidik anaknya dan mendidik anak-anak para sahabat.
Alhamdulillah banyak para ulama sudah menulis bagaimana konsep pendidikan Nabi.
Sayangnya di Indonesia, jika bicara pendidikan Islam tidak pernah jauh dari buku Syekh Abdullah Nashih Ulwan (Tarbiyatul Aulad/Pendidikan Anak Dalam Islam, red).
Saya sering bilang, buku Syekh Abdullah Nashih Ulwan adalah sebuah karya ilmiah yang luar biasa.
Tapi ketika ada beberapa hal tidak bisa dijawab buku itu, lantas datang kritik terhadap buku Syekh Abdullah Nashih Ulwan, semua orang kemudian menjadi memproteksi.
Padahal ada bantahan ilmiah terhadap buku itu tanpa mengurangi kehebatan buku tersebut.
Selain Syekh Abdullah Nashih Ulwan, siapa Ulama yang bisa kita rujuk?
Di Abad 5 Hijriah ada Abu Al Walid Al Baji. Begitu juga dengan Ibnu Qayyim Al Jauzi. Mereka semua menulis tentang anak.
Di Kitab Mukaddimah, Ibnu Khaldun juga memuat tentang Pendidikan Anak.
Sampai konsep hukuman terhadap anak pun ditulis khusus oleh Ibnu Khaldun.
Belakangan kesini, banyak yang menulis tentang pendidikan.
Muhammad Quthb salah satu yang ahli dalam menulis tentang pendidikan anak.
Para sahabat adalah orang yang sangat teguh memegang ajaran Islam.
Sebenarnya dari mana Rasulullah SAW memulai pendidikannya kepada mereka?
Kalau kita bicara keluarga, Nabi memulai konsepnya sejak memilih pasangan. Dari tempat dijatuhkannya nutfah. Makanya Nabi merasa perlu sekali untuk ikut campur dalam proses pernikahan sahabat. Sehingga Nabi lah yang secara langsung memilihkan pasangan bagi para sahabat.
Ketika Istri Utsman Bin Affan, Ruqayyah meninggal, Nabi langsung menawarkan adiknya, Ummu Kultsum. Begitu juga ketika Ummu Kultsum meninggal Nabi langsung bilang, ‘Demi Allah Utsman, jika aku punya anak perempuan lagi, maka aku akan nikahkan kepadamu.”
Tapi banyak yang bilang bahwa Pendidikan Zaman Nabi berbeda dengan kondisi saat ini?
Ini memang kalimat yang sangat menyesatkan. Ada yang memahaminya salah, ada pula yang sengaja memahaminya salah.
Jangankan kalimat yang begitu, kalimat yang sekarang dijadikan sumber dalam pendidikan dan dianggap sebagai sebuah kalimat sakral adalah ‘didiklah anak sesuai zamannya.’
Anda tahu ini kalimat siapa? Rasulullah SAW pun bukan.
Ada yang mengatakan kalimat Umar atau Ali, silahkan tanya ahli hadis.
Kata Aidh al Qorni ada yang mengatakan bahwa itu kalimat Umar tapi diragukan. Hitunglah kalimat itu benar, kalimat itu juga jangan disakralkan, karena itu bukan wahyu.
Misalkan, kedepan di Indonesia tidak lagi memerlukan pernikahan dan pasangan gay serta lesbian diizinkan untuk menikah, apakah ini yang dimaksud dengan sesuai zamannya?
Maka dalam parenting kita harus mengambil sosok yang terbaik yaitu Rasulullah SAW.
Ini bisa jadi kalimat orang yang tidak faham sejarah. Orang yang faham sejarah akan mengatakan bahwa sejarah akan mengulang dirinya sendiri, artinya tidak ada yang baru dalam dunia ini. Sejarah itu dipelajari juga karena itu.
Maka ketika Abu Jahal meninggal, Rasulullah pun berkata Hadza fir’aun hadzihil ummah. Abu Jahal ini Fir’aunnya umat. Padahal Fir’aun hidupnya kapan? Jauh sekali, tapi Nabi hanya ingin mengatakan bahwa Fira’un di zaman apapun pasti ada. Hanya tampil dalam rupa berbeda.
Begitu juga dengan konsep pendidikan dan parenting.
Bolehkah kita berdiskusi dengan anak tentang Allah di tengah rasio mereka yang belum berkembang?
Ada kalimat yang bagus dari Syekh Muhammad Quthb.
Beliau mengatakan Allah sengaja membuka mulut anak-anak di waktu kecil untuk dimasukkan nilai-nilai tauhid oleh orangtuanya.
Banyak anak bertanya mengapa matahari timbul di siang hari tapi tidak di malam hari. Kenapa pohon kelapa tinggi, sedangkan pohon yang lainnya pendek. Bayangkan banyak dari kita menjawab secara ilmiah untuk anak sekecil itu. Maka menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Syekh Muhammad Quthb memberikan jawaban yang sangat bagus sekali, ‘Begitulah Allah menghendakinya’.
Ustadz mengatakan bahwa membangun keluarga harus dekat dengan Visi KeIslaman, namun fenomena yang berkembang tidak sedikit para aktivis dakwah yang bercerai, bagaimana pandangan ustadz mengenai fenomena ini?
Salah pertama adalah tidak ada ilmunya. Masyarakat kita sering sekali memahami kalau ustadz ilmunya banyak. Kalau dai mengetahui segalanya. Apalagi level ustadz gampang sekali disematkan bagi siapa saja. Lulusan Timur Tengah pun juga tidak ada jaminan mengerti konsep parenting jika ia tidak mau menggalinya.
Kalau ilmu sudah dimiliki ia akan bisa menerapkannya. Ilmu itu yang akan menutup adalah syahwat. Kalau syahwat sudah bicara, maka Ilmu akan tertutup.
Saya berikan contoh sederhana, sekarang banyak sekali kesalahan fatal ibu-ibu para dai yang merasa sangat bangga memiliki pengajian di banyak tempat. Lantas anaknya dikemanakan?
Anaknya ditelantarkan di rumah. Padahal siapa yang menyuruh seorang wanita aktif di luar rumah, tapi anaknya ditelantarkan?
Ummu Salamah RA misalnya, membaca kiprahnya di masyarakat memang tidak sekaliber Aisyah RA. Kenapa? Karena Ummu Salamah RA anaknya banyak, berbeda dengan Aisyah RA yang tidak memliiki anak.
Surat Al Ahzab ayat 33 misalnya, faqorna fii buyutikun, menetaplah kalian para wanita di rumah kalian, siapa yang mau menerima ayat itu seutuhnya? Ayat ini malah dilawan dan dibelokkan sana-sini.
Di era badai fitnah saat ini, apa pesan Ustadz bagi keluarga muslim?
Sebenarnya zaman ini sedang mencari cahaya. Zaman ini sedang mencari Tuhannya, karena itu memang karakter zaman jahiliyah.
Sebagai muslim kita harus bersyukur, kita punya cahaya hidayah yang diberikan oleh Allah. Maka jangan tinggalkan cahaya itu dan kita malah lari ke cahaya kegelapan. Kita harusnya mencari cahaya itu dari sumbernya. Tidak ada lain cahaya itu bersumber dari Allah SWT. Allahu nurus samawati wal ardh. Allah lah cahaya langit dan bumi.
04 December 2015
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment
Kalau ada pertanyaan, usul/saran, atau komentar yang terkait dengan postingan-postingan saya, silakan tinggalkan pesan Anda disini.