Tulisan berikut saya ambil dari berita di The Jakarta Post hari ini yang berjudul “In Silicon Valley, a school where computers aren’t in the curriculum”. Berita itu dituis oleh Matt Richtel, dari Los Angeles, California dan dimuat di JP, Monday October 24, 2011 halaman 20. Menurut saya, tulisan ini menarik karena justru kita melihat fakta yang unik bahwa orang-orang yang tiap hari bergulat dengan IT tidak membiarkan anak-anak mereka menggunakan prangkat komputer dalam belajar di sekolah, sementara kita tahu, banyak orang berada yang seringkali tidak terlibat dalam industri teknologi informasi cenderung memasukkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah yang mengakomodir penggunaan IT di sekolah.
Berikut adalah saduran dari berita yang saya maksud di atas…
Chief technology officer dari eBay mengirim anak-anaknya ke sekolah yang sama sekali tidak menggunakan teknologi canggih. Demikian pula karyawan dari perusahaan-perusahaan besar di Silicon Valley seperti Google, Apple, Yahoo dan Hewlett-Packard.
Sekolah tempat anak-anak dari bos-bos perusahaan IT dan computer canggih ini tidak menyediakan peralatan IT yang canggih bagi siswa-siswinya. Mereka tidak pakai computer, screen dan lain-lain yang berbau teknologi tinggi, melainkan peralatan belajar yang sederhana seperti, pensil, balpoin, kertas, jarum untuk menyulam dan menjahit, bahkan kadang-kadang lumpur.
Sekolah yang dimaksud adalah Waldorf School di Peninsula, satu dari 160 sekolah Waldorf di seluruh Amerika yang menganut filosofi pengajaran yang berfokus pada aktivitas fisik dan pembelajaran melalui kegiatan-kegiatan kreatif dan hands-on. Mereka yang menganut pendekatan ini mengatakan bahwa komputer menghambat creative thinking, movement, human interaction and attention span.
Alan Eagle, 50 thn, salah seorang guru di Waldrof mengatakan bahwa pendapat bahwa aplikasi dalam iPad dapat mengajar anak-anak membaca dan mengerjakan aritmatika dengan lebih baik sangat mengggelikan. Bahkan dengan tegas dia menyatakan bahwa “saya sangat menolak pendapat (notion) yang menyatakan bahwa anda membutuhkan teknologi untuk membantu anda belajar atau mengajarkan tatabahasa”.
Ruang kelas Waldorf School sangat sederhana, retro look - papan tulis berwarna hitam dengan kapur tulis yang berwarna-warni, rak buku yang penuh dengan esiklopedia, meja terbuat dari kayu dengan buku kerja siswa dan pensil no. 2. Di sekolah ini siswa juga diajarkan bagaimana menyuam, menjahit, menggergaji atau memotong kancing yang terbuat dari kayu. Menurut sekolah, kegiatan-kegiatan ini membantu mengembangan keterampilan-keterampilan seperti problem-solving, patterning, math skills and coordination.
Praktek yang diterapkan di Waldorf school bertentengan dengan kecenderungan umum sekolah-sekolah di US yang bergegas menyediakan computer pada tiap-tiap ruang kelas mereka. Bahkan, banyak pembuat kebijakan memandang, sekolah-sekolah yang tidak melakukan itu (menyediakan computer pada tiap-tiap ruangan kelas) atau berbuat sebaliknya adalah bodoh.
Ada pertentangan tentu saja di antara para pakar. Yang mendukung model sekolah Waldorf mengatakan bahwa tidak ada bukti empiris yang menunjukkkan bahwa dengan menyediakan computer dalam ruangan kelas akan menghantar para sswa untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dari tes-tes atau evaluasi yang dikuti. Bahkan, para orang tua dyang menjadi orang penting pada perusahaan-perusahaan IT di Silicon Valley yang mengirimkan anaknya ke Waldorf School menganggap bahwa belajar menggunakan peralatan IT sangat-sangat mudah, seperti belajar menggunakan sikat gigi. Di google, dan perusahaan-perusahaan sejenis, kita membuat teknologi sebagai perangkat yang digunakan tanpa menggunakan otak (brain-dead easy to use as possible). Jadi tidak ada alas an mengapa anak-anak tidak bisa menggunakannya ketika mereka bertambah besar, lanjutnya.
Kunci perdebatan antara Waldorf School dan yang mendukung penggunaan tekhnologi di kelas adalah pada masalah KETERLIBATAN (engagement). Menurut penganut Waldorf School, keterlibatan dalam kelas adalah menyangkut kontak antar pribadi, kontak dengan guru dan kontak dengan teman-teman sekelas.
Sementara pendukung penggunaan teknologi di dalam kelas mengatakan bahwa penggunaan teknologi dapat mempertahankan atau menarik perhatian siswa dalam belajar. Mereka yang terbiasa dalam menggunakan peralatan elektronik akan sulit untuk tune in tanpa peralatan-peralatan itu dalam belajar.
Sekarang, keputusan ada di tangan kita. Argumentasi mana yang paling masuk akal bagi anda? Mendukung penggunaan teknologi tinggi dalam kelas atau mendukung kelas-kelas konvensional seperti yang lazim kita lihat dan alami di Indonesia?
Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/24/anak-bos-it-silicon-valley-tidak-menggunakan-komputer-di-sekolah/
28 October 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment
Kalau ada pertanyaan, usul/saran, atau komentar yang terkait dengan postingan-postingan saya, silakan tinggalkan pesan Anda disini.