Jam menunjukkan pukul 19.00 ketika seorang klien yang sebelumnya telah mengadakan janji temu masuk ke ruang terapi saya. “Selamat malam Pak…., apa kabar, apa yang dapat saya bantu untuk Bapak” sapa saya mengawali pembicaraan. Dengan suasana santai dan nyaman, klien tersebut kemudian menceritakan permasalahan yang tengah dialami seputar usaha pribadi yang dimilikinya.
“Saya bukan berasal dari keluarga kaya Pak” lanjutnya dalam pembicaraan kami. “Semuanya saya awali dari nol dengan modal usaha yang sangat minim”. “Hingga akhirnya saya dapat terus berkembang membangun usaha sendiri yang saat ini memiliki banyak cabang di Jogjakarta”.
Dari cerita klien tersebut saya kemudian justru mendapatkan satu inspirasi yang sangat luar biasa. Berawal dari statusnya yang hanya sebagai pegawai biasa di sebuah counter handphone dengan gaji pas-pas an hingga akhirnya memiliki usaha sendiri dengan banyak cabang, ditambah beberapa mobil dan rumah mewah, dengan usia yang relatif masih muda, jauh dibawah saya. Wow menarik bukan?
“Beberapa waktu ini usaha yang saya jalankan sedikit mengalami hambatan, Pak” ujarnya. “Saya merasa bahwa harusnya saya bisa lebih maju dan berkembang. Namun sekarang ini rasanya kok mandek ya, stuck nggak bergerak. Masa dalam dua tahun terakhir ini tidak ada perkembangan sama sekali?”….. “Memang sih hasilnya masih cukup baik, namun dengan kapasitas modal dan karyawan yang ada, harusnya terjadi peningkatan juga dalam usaha saya ini. Kalau tidak nanti ke depannya akan semakin berat dalam persaingan”
Pembicaraan terus berlanjut dan saya mencoba menggali informasi lebih banyak lagi. Pada akhirnya saya menemukan suatu penjelasan yang cukup unik yang saya rasakan sebagai sumber penyebab dari tidak berkembangnya usaha yang dijalankan tersebut.
Begini ceritanya, setelah menempati kantor baru sebagai pusat kegiatan usahanya tiga tahun lalu, banyak rekan dan sahabat yang datang berkunjung hampir setiap hari. Wajar saja bila pada akhirnya mereka sangat kagum dengan perkembangan dan hasil yang telah dicapai oleh klien saya ini. Mengingat bagaimana kondisinya sejak awal merintis usaha, mungkin tidak salah bila saya istilahkan “from zero to hero” he he he… Mau tak mau pujianpun mengalir dari masing-masing teman dan sahabatnya. “Wah anda memang hebat ya Pak”, “Sukses yang luar biasa Pak”, “Bisnis anda sangat besar sekali” adalah beberapa komentar dan pujian yang sering disampaikan padanya.
Namun bagaimana cara klien saya menanggapinya ternyata justru menjadi bumerang di kemudian hari yang tidak pernah disadarinya. “Ah enggak kok” jawabnya. Atau “Biasa aja lah”, “Jangan terlalu memuji”, “Saya masih belum apa-apa”, “Ah saya nggak ada apa-apanya”, jawaban-jawaban inilah yang sering dan berkali-kali klien saya ucapkan menanggapi pujian-pujian tersebut. Dan itu terus berlanjut hingga saat sebelum bertemu saya.
Yang menarik adalah mengapa klien mengucapkan itu berkali-kali? Bukankah ini memperkuat atau bahkan bisa menyebabkan mental blok baru? Sebab dengan mengacu pada prinsip kerja pikiran, sesuatu yang dilakukan berulang kali (repetisi) secara konsisten, maka hal tersebut dapat menjadi suatu hal yang diyakini (belief). Dalam konteks bila keyakinan itu bersifat negatif, secara otomatis akan menjadi mental block yang menghambat kemajuan diri kita dan apa yang kita lakukan.
Nah saya mulai menggali lebih dalam mengapa klien mengucapkan itu berkali-kali. Saya menanyakan beberapa pertanyaan untuk mempertajam analisa dan dugaan saya tentang proses terbentuknya mental blok itu. Saya tanya lebih detail apa perasaannya saat mengucapkan kalimat tersebut sebab bila kita perhatikan jawaban-jawaban yang diberikan klien saya ini dalam menanggapi pujian yang ditujukan kepadanya, semuanya berkonotasi negatif bukan?
Saya paham bahwa sebagai orang timur dan khususnya karena klien saya ini berasal dari Jogjakarta, mungkin maksud dari jawaban tersebut adalah untuk menunjukkan kerendahan hati dan menghindari kesan sombong atau tinggi hati. Namun intuisi saya sebagai terapis menangkap sesuatu yang sepertinya menjadi petunjuk penting untuk menyelesaikan kasus ini. Lagi pula suatu kalimat yang diulang berkali-kali dapat berubah menjadi belief dan mental blok yang benar-benar diwujudkan secara tidak sadar. Bahwa usahanya itu masih biasa saja, masih belum apa-apa dan tidak ada apa-apanya. Disinilah terjadi proses sabotase diri yang tidak pernah disadari klien sama sekali.
Singkat cerita saya kemudian melakukan terapi pada klien saya tersebut untuk menghilangkan belief dan mental blok yang menjadi penghambat kemajuan usahanya.
Dengan salah satu tehnik terapi yang saya pelajari di kelas Akademi Hipnoterapi Indonesia, saya menemukan root cause atau akar permasalahan yang menyebabkan atau melatar belakangi ucapan-ucapan tersebut.
Ternyata kejadian yang memicu semua ini dialami oleh klien saya pada saat dia berusia delapan tahun. Klien melihat pertengkaran kedua orangtuanya untuk yang kesekian kalinya. Namun yang kali ini dilihatnya adalah yang paling heboh dan seru hingga akhirnya kedua orangtuanya bercerai dan usaha mereka mengalami kebangkrutan.
Kejadian ini begitu membekas, memunculkan perasaan tidak berdaya, tidak mampu, tidak percaya diri, tidak dapat berbuat apa-apa atas peristiwa yang terjadi. Sebagai seorang anak ia tentu mengharapkan kedua orangtuanya rukun. Namun apa daya ia tak sanggup membuat itu terjadi. Dan …… bennnnngggggg! Sebuah perasaan tak mampu terbentuk melalui serangkaian self talk pada anak tak berdaya ini. Ditambah dengan emosi negatif yang dirasakan saat itu maka lengkaplah sudah proses terbentuknya citra diri pada si anak. Citra diri – saya tak mampu, saya biasa saja – ini tertanam kuat dalam memori pikiran dan berguna sebagai landasan berpikir dan bertindak saat anak kecil 8 tahun ini beranjak dewasa.
Citra diri inilah yang kelak akan terwujud dalam kehidupan seseorang. Ini seperti sebuah ramalah yang menjadi kenyataan.
Akhirnya saya membantu klien melihat kejadian itu dengan sudut pandang berbeda dan kemudian memaknai ulang peristiwa tersebut dengan kesadaran dewasanya. Lalu setelah itu saya minta klien membantuk gambaran mental baru yang ia inginkan dengan teknik tertentu juga yang terlalu teknik diceritakan di sini. Singkat cerita terapi berakhir dan klien merasa plong. Seakan sebuah batu besar yang selama ini digendong kemana-mana telah diletakkan dan tak perlu dibawa lagi.
Dua bulan setelah sesi terapi berakhir, di awal Juni 2010 saya mendapatkan kabar bahwa usaha yang dijalankan oleh klien saya mulai ada peningkatan dan berjalan sesuai yang diharapkan. Pesanan tiba-tiba saja datang dari pihak-pihak yang tidak pernah berhubungan sama sekali. Bahkan kinerja karyawan pun membaik. Malah pada akhirnya klien saya ini menyampaikan bahwa dia sedang mengatur waktu dan meminta saya untuk memberikan training beserta sesi terapi untuk keseluruhan karyawannya.
Kasus klien saya ini mengingatkan saya pada cerita Aladin dan lampu wasiat. Dimana Sang Jin akan mewujudkan dan mengabulkan permintaan yang disampaikan. “Your wish is my command”.
Demikian juga dengan hukum yang ada di alam semesta ini. Bukankah apa yang kita pikirkan dan ucapkan adalah apa yang akan kita dapatkan dan diwujudkan dalam hidup kita? Oleh karenanya berhati-hatilah dengan apa yang Anda pikirkan dan ucapkan, karena semuanya dapat menjadi suatu keyakinan yang akan diwujudkan dalam kehidupan nyata.
Dan setelah menyadari dampak dari ucapan dan pikiran yang muncul maka carilah dengan kesadaran diri awal mula mengapa itu terjadi. Tak ada sebuah akibat terjadi tanpa sebab, betul?
Bagaimana jika kesadaran diri kita tak sanggup menjangkau area dimana penyebab itu terjadi? Nah itulah saatnya kita membutuhkan pihak profesional untuk mencari dan melepaskan beban emosional tersebut.
Salam hangat penuh cinta untuk para orangtua Indonesia
Andreas S.(Certified Trainer Sekolah Orangtua Jogjakarta dan Champion Mindset Coach)
http://www.sekolahorangtua.com
20 August 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment
Kalau ada pertanyaan, usul/saran, atau komentar yang terkait dengan postingan-postingan saya, silakan tinggalkan pesan Anda disini.