Ibu Ani, bukan nama sebenarnya, kebingungan menghadapi anaknya yang baru saja kelas 1 SD. Tingkah lakunya menjadi susah dikontrol dan sering dimarahi guru di kelas. Ia dilaporkan sering berjalan-jalan di kelas mengganggu teman-temannya ketika pelajaran berlangsung. Di rumah pun demikian, adiknya tak pernah lolos dari gangguannya. Hal ini terjadi sejak ia mulai masuk kelas 1 SD. Selain itu motivasi belajarnya juga naik turun namun banyak turunnya.
Sampai suatu saat guru kelasnya angkat tangan dan menyarankan orangtuanya untuk pergi ke psikolog dan melakukan tes IQ. Setelah beberapa hari keluarlah hasil tes yang dimaksud yang menyatakan bahwa si Erik, anak Ibu Ani, normal-normal saja. IQ nya 122 skala Weschler. Saran dari tes tersebut adalah Erik perlu pendampingan yang lebih konsisten dan diperhatikan kebutuhan emosionalnya.
Saudara Ibu Ani, teman baik saya, menyarankan Ibu Ani pergi menemui saya sekedar untuk mendapatkan wawasan dan bertukar pikiran. Singkat cerita saya pun menemui Ibu Ani, suaminya dan teman saya tersebut, sekaligus melepas rindu karena lama tak ngobrol lagi dengannya sejak kami berpisah sewaktu lulus SMA.
Setelah membaca hasil tes IQ Erik saya bertanya pada Ibu Ani beberapa hal. Ibu Ani tidak bekerja, ia sebagai ibu rumah tangga yang sehari-hari mengurus pekerjaan rumah tangga dan 2 orang anaknya. Ia mengeluh mengapa waktu yang ia curahkan untuk si Erik seakan kurang. Apalagi sejak kelahiran adiknya maka si Erik suka sekali mencari perhatian dengan melakukan berbagai hal yang aneh-aneh.
Satu hal yang perlu kita sadari tentang kedekatan orangtua dengan anak. Banyak orang mengartikan kedekatan orangtua dengan anak hanyalah kedekatan secara fisik. Seperti suami Ibu Ani, ketika saya tanya berapa banyak waktu yang ia curahkan pada Erik secara rata-rata dalam sehari. Ia mengatakan bahwa setiap pulang kerja ia selalu menemani Erik. Dan itu terjadi hampir tiap hari kecuali kalau ada tamu.
Kemudian saya menggali lebih dalam lagi untuk tahu apa yang ia lakukan sewaktu bersama Erik. Ia pun menjawab bahwa mereka berdua nonton TV. “Oke saya harap anda berdua menonton film edukasi bagi si Erik, jangan nonton sinetron yang banyak adegan kekerasan, manipulasi, iri dan dengki”, kata saya.
“Lha mana bisa Pak, Papanya suka nonton sinetron kok!”, sahut Ibu Ani tiba-tiba.
“Oke Pak, kalau begitu bolehkah saya tahu satu hal lagi? Apakah yang Bapak lakukan sewaktu nonton TV dengan Erik?”, tanya saya lebih spesifik pada suami Ibu Ani.
“Ehm, ya nonton aja Pak sambil terkadang peluk Erik”, katanya.
Dan saya pun segera bisa menebak apa yang kurang pada si Erik. Kedua orangtua Erik hanya dekat secara fisik dengan anak mereka namun tidak ada keterlibatan emosi yang mendalam.
Kebanyakan orangtua bertindak sebagai “supervisor” bagi anaknya. Ketika sang anak pulang sekolah maka serentetan “pertanyaan rutin” dan bisa ditebak pasti meluncur menyerang si anak. Sambil menggandeng tangan anak maka muncullah pertanyaan semacam ini :
* “Tadi ulangannya bisa atau tidak?”
* “Ada PR atau tidak?”
* “PR mu tadi benar atau tidak?”
* “Besok ulangan apa?”
* “Makanannya tadi habis atau tidak?”
* “Kamu tadi nakal atau tidak?”
* “Kamu tadi dihukum atau tidak?”
Dan terjadilah percakapan mekanis yang berulang dari hari ke hari selama anak itu sekolah. Bisa jadi itu pertanyaan yang sama yang akan diucapkan pertama kali saat anak pulang sekolah dari SD sampai SMU. Dan inilah yang sering dimaksud oleh para orangtua dengan “kedekatan dengan anak”. Ya …… memang itu kedekatan tapi lebih banyak kedekatan secara fisik saja.
Sama juga dengan ketika memandikan anak, mengajaknya nonton VCD bersama atau mengajaknya jalan-jalan. Ada yang melakukannya dengan sepenuh hati sambil bercakap-cakap santai dengan si anak ada juga yang hanya sekedar melakukan hal itu semata-mata karena kita memang harus melakukannya. Bukan dengan sepenuh hati.
Lalu bagaimana caranya agar kedekatan kita bermakna bagi anak? Pastikan kita mengetahui apa yang ia rasakan. Katakan pada anak sewaktu ia pulang sekolah “Halo Sayang, bagaimana harimu? Apa yang kamu rasakan hari ini? Bersemangat atau gembira atau tak sabar menanti hari esok karena ada suatu kejutan?”
Setelah ia menanggapi jangan berusaha menasehati apapun, cukup dengarkan saja. Kalau ia mengatakan sesuatu yang positif maka katakan “Wow, Mama/Papa ikut senang mendengarkan pengalamanmu hari ini. Terus … terus apa lagi?”
Kalau ia mengatakan sesuatu yang negatif cukup katakan,”Oh, Mama/Papa ikut sedih mendengar hal itu. Mama/Papa juga pernah mengalami perasaan seperti itu. Kamu mau mendengar bagaimana Mama/Papa mengatasi perasaan itu?” Dan kemudian ceritakan tanpa bermaksud menggurui. Setelah itu berikan pelukan hangat padanya.
Ingatlah sewaktu mendengarkan anak bercerita atau mengungkapkan perasaanya maka pastikan kita tak melakukan apapun atau mengerjakan apapun. Tatap matanya dan dengarkan dengan penuh perhatian. Jika ada telepon dan itu bisa ditunda cobalah untuk tidak menanggapinya terlebih dahulu jika memang Anda memandang anak lebih penting. Dalam hati terdalam seorang anak ia ingin dinomorsatukan oleh papa atau mamanya.
Selain itu perhatikan tangki emosional anak kita. Tangki emosional atau tangki cinta ini kita penuhi melalui bahasa cinta yang tepat. Ada lima bahasa cinta yang bisa kita berikan pada anak tergantung mana yang dominan. Kelimanya adalah layanan, kata-kata pendukung, hadiah, sentuhan fisik, dan waktu berkualitas. Jika tangki emosional seorang anak penuh maka ia mudah diajak kerja sama dan mudah menurut serta memiliki motivasi tinggi.
Karena keterbatasan ruang maka hal mendetail mengenai bahasa cinta, bagaimana menemukan yang utama dan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan bisa Anda baca di artikel sebelumnya atau bisa juga dengan melihat secara komplit di DVD Tangki Cinta yang berdurasi 3 jam.
http://www.sekolahorangtua.com
21 August 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment
Kalau ada pertanyaan, usul/saran, atau komentar yang terkait dengan postingan-postingan saya, silakan tinggalkan pesan Anda disini.